Sabtu, 21 Februari 2009

Terapi Musik Untuk Pasien Stroke

Terapi Musik Sebagai Peningkatan Kemampuan Kognitif dan Mencegah Munculnya Perasaan Negatif Pada Fase Rehabilitasi Pasien Stroke Iskemi


Penyakit stroke menunjukkan adanya kelainan otak secara fungsional dan juga struktural, penyakit ini dapat disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral ataupun dari seluruh system pembuluh darah ( Marilynn.E Doenges, 2000). Kondisi patologis ini menyebabkan kerusakan berupa robekan pada dinding pembuluh darah atau kerusakan sirkulasi oleh karena okulsi pembuluh darah yang dapat bersifat sementara ataupun permanent.
Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama, penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada Lebih dari 700.000 insidensi stroke setiap tahunnya, Dengan lebih dari 160.000 kematian akibat stroke setiap tahunnya, jumlah penderita stroke di amerika Serikat adalah 4,8 juta , stroke adalah penyebab nomor tiga dan penyebab kecacatan nomer satu ( Bethesda Stroke Center, 2003 )
Penurunan kemampuan aktivitas dari pasien stroke sangat mempengaruhi kualitas hidup, penurunan kemampuan aktivitas dan kognitif pasien stroke menyebabkan penurunan kualitas hidup, untuk itu maka perlu adanya usaha peningkatan kualitas hidup dalam beraktivitas dengan cara melakukan latihan serta memberikan support mental pada pasien stroke.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan kognitif adalah dapat ditempuh dengan cara melakukan terapi musik, Alunan musik dapat mempercepat pemulihan penderita stroke, demikian hasil riset yang dilakukan tim peneliti dari Finlandia ( Bethesda Stroke Center, 2003 )
Musik adalah bahasa universal Dengan banyak manfaat dan dapat digunakan untuk perawatan kesehatan seperti mengurangi stress dan kecemasan. Ahli terapi menggunakan musik atau suara dalam membantu pasien dalam mencapai tujuan teraputik, termasuk didalamnya mental, fisik, emosi, social dan spiritual (Lynn Keegan, 2001 ).
Penderita stroke yang rajin mendengarkan musik setiap hari, menurut hasil riset itu, ternyata mengalami peningkatan pada ingatan verbalnya dan memiliki mood yang lebih baik ketimbang penderita yang tidak menikmati musik. Musik memang telah lama digunakan sebagai salah satu terapi kesehatan, namun penelitian yang dimuat dalam jurnal Brain itu adalah riset pertama yang membuktikan efeknya pada manusia.
Temuan ini adalah bukti pertama bahwa mendengarkan musik pada tahap awal pasca stroke dapat meningkatkan pemulihan daya kognitif dan mencegah munculnya perasaan negatif. Stroke, yang muncul saat aliran darah ke otak tersumbat, dapat membuat jaringan otak tak berfungsi. Penyakit ini adalah salah satu penyebab utama kematian dan kelumpuhan permanen di dunia. Riset tersebut membuktikan Tiga bulan pasca serangan stroke, kelompok pendengar musik dan buku audio menunjukkan peningkatan pada ingatan verbal mereka, masing-masing 60 persen dan 18 persen lebih baik ketimbang kelompok yang tidak mendengarkan musik.
Kemampuan dalam memfokuskan perhatian juga meningkat 17 persen pada mereka yang mendengarkan musik. Musik ditengarai dapat mengaktifkan mekanisme pada otak yang memperbaiki dan memperbarui jaringan syaraf pasca serangan stroke.Temuan ini telah memperlihatkan bahwa musik dapat digunakan sebagai salah satu terapi tambahan yang murah dan mudah bagi penderita stroke
Ditulis :
Mohamad Judha, S.Kep Ners
Staf Pendidikan Keperawatan Universitas Respati Jakarta

Senin, 09 Februari 2009

Sekilas Tentang Management Stroke


1. Pengkajian
a. Radiograpi: CT scan, MRI
b. Cerebral angiography
c. Pungsi lumbal

2. Medikasi sistem persarafan
a. Diuretik dan manitol
b. Obat neuro: obat saraf central

3. managemen stabilisasi tekanan intrakranial
a. posisi
b. valsava manufer dan pengikatan

4. penatalaksanaan oksigenisasi pada klien gangguan neuro
Penatalaksanaan oksigenasi sangat penting untuk memaksimalkan otak berfungsi secara maksimal.

Pencegahan aspirasi harus selalu dilakukan dengan tuba
endotrakheal, tuba nasogastrik atau orogastrik dan dipantau
dengan manset tekanan (cuff pressure) setiap 6 jam. Tuba
endotrakheal dengan manset lunak umumnya dipakai kurang
dari 2 minggu. Jika setelah 2 minggu penurunan kesadaran
masih berlanjut atau terjadi komplikasi pulmonal, maka harus
dilakukan trakheostomi elektif. Oksigen harus diberikan pada
semua pasien perdarahan intraserebral dengan penurunan
kesadaran
Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut stroke iskemik untuk mencegah hipoksia dan perburukan neurologis. Penyebab tersering gangguan oksigenasi diantaranya obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi, pneumonia aspirasi ataupun atelektasis. Pasien dengan kesadaran menurun dan stroke batang otak beresiko mengalami gangguan oksigenasi. Tindakan intubasi harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas. Secara umum, pasien yang memerlukan tindakan intubasi mempunyai prognosis yang buruk, kurang lebih 50% nya meninggal dalam 30 hari. Monitoring dengan oksimetri sebaiknya dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%.Suplementasi oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil analisa gas darah atau oksimetri.

Intubasi harus dilakukan secara hati-hati dan
mengikuti prosedur yang berlaku.
secara nyata.

Sebelum intubasi dilakukan preoksigenasi maksimal dan pem-
berian obat-obatan misalnya atropin, thiopental, midazolam,
propofol, dan suksinilkholin untuk menghindari terjadinya
refleks aritmia dan/atau ketidakstabilan tekanan darah
Indikasi pemasangan pipa endotrakeal:
· PO2 <50-60 mmHg
· PCO2 >50-60 mmHg
· Kapasitas vital < 500-800 mL
· Resiko aspirasi pada pasien yang kehilangan refleks proteksi jalan nafas
· Takipneu >35 kali/menit
· Dyspneu dengan kontraksi muskulus asesorius
· Asidosis respiratorik berat
· didapatkan risiko
· aspirasi dengan atau tanpa gangguan oksigenasi arterial
Indikasi trakeostomi:
· Proteksi bronkial/bronkial cleansing
· Koma dengan pemakaian ventilator lebih dari 14 hari
· Gangguan menelan dengan resiko aspirasi
· • Obstruksi laring• Pemakaian ETT lama

5. penatalaksanaan cairan pada klien gangguan neuro

6. penatalaksanaan kelumpuhan
Penatalaksanaan meliputi observasi dan perawatan untuk semua perubahan dalam status fisiologik dan psikologik dan pencegahan serta penatalaksanaan komplikasi jangka panjang. Peran keperawatan adalah menekankan pada kebutuhan terhadap pengkajian dan perawatan mandiri.
1. Meningkatkan mobilitas
a. Aktivitas pembebanan beban berat
Pasien yang mengalami paralysis dapat memulai pembebanan berat badan secara dini. Makin cepat otot menjadi kuat, makin sedikit kemungkinan terjadi atrofi. Makin dini pasien diposisikan berdiri, makin kecil kesempatan adanya perubahan osteoporotik yang terjadi pada tulang panjang. Aktivitas dengan pembebanan berat badan juga menurunkan kemungkinan batu ginjal dan meningkatkan proses metaboli.
b. Program latihan
Bagian tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan dibangun untuk mengoptimalkan kekuatan, untuk meningkatkan perawatan diri secara maksimal. Otot-otot lengan, tangan, bahu, dada, tulang belakang, perut dan leher pasien dengan paralisis harus kuat, karena pasien harus menanggung seluruh berat badan pada otot-otot ini untuk melakukan ambulasi. Otot trisep dan latissimus dorsi adalah otot-otot penting yang digunakan dalam mendukung saat berjalan. Otot-otot abdomen dan bagian punggung juga diperlukan untuk keseimbangan dan mempertahankan keseimbangan posisi berdiri tegak. Untuk menguatkan otot-otot, pasien dapat melakukan latihan push up dengan posisi telungkup dan sit up bila posisi duduk. Memanjangkan tangan dengan memegang beban (dapat digunakan beban traksi) juga mengembangkan kekuatan otot. Meremas bola karet atau gulungan kertas dapat membantu menguatkan tangan. Dengan bantuan rehabilitasi, pasien diarahkan untuk latihan gaya berjalan dan aktivitas gerak.
c. Mobilisasi
Bila keadaan cukup stabil maka pasien dibantu untuk berdiri tegak dan mengawali aktivitas mobilisasi. Penguat tubuh atau rompi dapat digunakan. Rompi penyangga tubuh dan tongkat ketiak digunakan oleh pasien paraplegia untuk berpindah pada jarak yang pendek dan mengendarai mobil yang dioperasikan otomatis. Berpindah tempat dengan menggunakan tongkat pada paraplegi memerlukan pengeluaran energi yang banyak. Teknologi modern mengembangkan kursi roda yang menggunakan mesin motor dan khusus dilengkapi dengan mobil gerbong yang berkontribusi terhadap kemandirian pasien dan melakukan mobilisasi pada tingkatan yang lebih tinggi. Tujuan utama dari pengelolaan keperawatan adalah membantu pasien keluar dari perasaan gagal. Untuk pencapaian tugas ini, penting untuk merealisasikan bahwa perilaku simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan pasien mengarah pada peerkembangan ketergantungan yang berlebihan yang dapat menghambat tujuan program rehabilitasi. Pasien diajarkan dan dibantu bila diperlukan, tetapi upayan aktivitas yang dibuat diserahkan pada pasien agar dilakukan oleh mereka sendiri dengan usaha minimal.
2. Meningkatkan integritas kulit
Penghilangan tekanan dan menghindari posisi yang menetap selama 2 jam, selain memperhatikan kulit dengan teliti dan kebersihannya. Identifikasi daerah yang mudah diserang. Pasien ini dianjurkan untuk menggunakan cermin untuk memeriksa daerah ini pagi dan malam hari, menobservasi adanya kemerahan, edema atau lecet. Selama diatas tempat tidur pasien harus mengubah posisi setiap 2 jam dan memeriksa kulit terhadap kemerahan. Periksa sprei daerah bokong terhadap kelembaban terutama pada lipatan. Pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas ini dibantu dengan menggunakan informasi kepada anggota keluarga bahwa kebutuhan ini diperiksa untuk mencegah masalah yaitu dekubitus. Pasien dianjurkan untuk mengurangi tekanan pada saat diatas kursi roda dengan melakukan sit up, miring dari satu sisi ke sisi yang lain untuk mengurangi tekanan iskhial dan miring kearah depan dengan kemiringan stabil. Pasien memerlukan bantal kursi roda yang dapat diubah pada saat perubahan postur, berat dan toleransi kulit. Diit juga harus tinggi protein, vitamin dan kalori untuk menjamin kebutuhan otot minimal, fungsi ginjal yang baik dan mempertahankan kesehatan kulit.
3. Memperbaiki penatalaksanaan berkemih
Pasien dengan kuadriplegi atau paraplegi biasanya reflek kandung kemih mengalami gangguan yang meningkatkan resiko infeksi saluran kemih. Perawat menekankan pentingnya mempertahankan aliran urin yang adekuat melalui pemberian asupan cairan sebesar 2,5 liter setiap hari, sering mengosongkan kandung kemih sehingga meminimalkan residu urine. Perinium harus tetap dijaga kebersihannya dan tetap kering serta perhatikan kulit perianal setelah defekasi. Pakaian dalam harus terbuat dari katun dan diganti setiap hari. Jika kateter eksternal digunakan, kantung dikeluarkan setiap malam, penis dibersihkan dan keringkan. Penting pula dipantau adanya indikasi infeksi saluran kemih dimana urin berwarna kecoklatan, tercium bau busuk atau hematuria, demam atau menggigil.
4. Menetapkan kontrol defekasi
Tujuan program latihan defekasi adalah untuk mengevakuasi usus besar melalui mengondisikan refleks. Sfingter anus dapat dipijat untuk menstimulus defekasi dengan cara memasukkan jari tangan yang menggunakan sarung tanga kedalam rektum sejauh 2,5 sampai 3,7 cm dan menggerakkan jari dengan gerakan melingkar atau dari satu sisi ke sisi yang lain. Rangsangan ini segera menimbulkan respon melakukan defekasi. Prosedur ini harus dilakukan pada waktu yang sama setelah makan dan pada waktu yang menyenangkan bagi pasien. Pasien juga diajarkan mengenal gejala-gejala frekuensi defekasi dan konstipasi dan adanya hemoroid. Diit cairan yang cukup dan serat penting untuk mencapai program latihan usus besar.
5. Konseling tentang ekspresi sosial
Beberapa pasien dengan kelumpuhan dapat mengalami beberapa bentuk hubungan seks yang berarti. Penanganan ini memungkinkan pasien mengekspresikan seksual, tehnik-tehnik khusus, posisi, menggali sensasi tubuh yang menimbulkan perasaan sensual dan kebersihan dalam defekasi dan berkemih yang berhubungan dengan aktivitas seksual. Penis buatan digunakan bagi pria yang mengalami gagal ereksi. Pendidikan seksual dan pelayanan konseling mencakup rehabilitasi pada pusat spinal. Pertemuan kelompok kecil pasien dapat memberikan tukar pengalaman dan perasaan, menerima informasi dan konsentrasi dalam mendiskusikan seksual dan aspek-aspek praktis yang menolong dalam tingkah lau efektif dan beradaptasi.
6. Mekanisme koping
Pengaruh yang kuat dari ketidakmampuan mereka akan menumpuk saat pasien kembali kerumah. Setiap waktu segala sesuatu yang baru memasuki hidup mereka, mereka mengalami keterbatasan baru. Reaksi berduka dan depresi sering dihadapi. Untuk mampu bekerja lagi dalam keadaan depresi, pasien harus memilik harapan untuk gambaran masa depan. Mereka juga perlu dipimpin menuju perasaan yakin dalam kemampuan mereka terhad pencapaian perawatan diri dan relatif mandiri. Peran perawat adalah pemberi perawatan dari fase akut sampai sebagai guru, konselor, fasilitator pada pencapaian kemandirian. Keluarga pasien juga memerlukan konseling untuk menolong mengatasi perubahan gaya hidup dan status sosioekonomik.
7. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah
Pasien dengan kelumpuhan beresiko terhadap komplikasi akibat istirahat dalam kehidupan mereka. Infeksi saluran kemih dan kondisi yang mengarah pada kontraktur dapat muncul dan mengharuskan kembali dirawat dirumah sakit. Sepanjang kehidupan mereka, pasien beresiko mengalami dekubitus yang serius dan mengancam kehidupan. Untuk menghindari komplikasi, pasien dan anggota keluarga diajarkan merawat kulit, perawatan kateter, latihan rentang gerak dan tehnik perawatan lain selama pasien ada dirumah sakit dan pusat rehabilitasi. Penyuluhan diberikan selama kunjungan rumah melalui perawatan dirumah oleh perawat. Modifikasi lingkungan dan alat-alat khusus perlu disediakan. Perawatan dirumah memberikan evaluasi tindak lanjut kontinyu untuk menguatkan penyuluhan sebelumnya dan menentukan apakah diperlukan bantuan fisik lanjut. Pasien memerlukan tindak lanjut sepanjang hidup oleh tim kesehatan karena defisit neurologik biasanya permanen dan masalah baru dapat timbul dan memerlukan perhatian segera sebelum keadaan ini menimbulkan kerusakan fisik, waktu, moral dan biaya tambahan.
8. Memantau dan mengatasi komplikasi
a. Kejang
Kejang otot merupakan komplikasi yang paling bermasalah pada pasien dengan kelumpuhan. Penatalaksanaan spastisitas adalah menyeluruh dan akan ditentukan berdasarkan gejala yang berat dan derajat ketidakmampuan. Obat-obatan spasmodik dan dantrium efektif dalam mengontrol spasme namun dapat menyebabkan mengantuk, vertigo dan kelemahan pada beberapa pasien. Latihan rentang gerak pasif dan sering mengubah posisi akan menolong jika kekakuan cenderung menimbulkan spastisitas. Aktivitas juga penting dalam pencegahan kontraktur, dekubitus, disfungsi defekasi dan berkemih. Masalah utama yang memperberat dari hari ke hari adalah kesulitan pemberian posisi dan mobilisasi. Dengan keadaan ini sejumlah prosedur pembedahan menghasilkan derajat keberhasilan yang bervariasi. Tehnik ini dipakai jika pendekatan konservatif gagal.
b. Infeksi dan sepsis
Pasien dengan kelumpuhan beresiko tinggi terhadap infeksi dan sepsi dari segala sumber. Akibat sepsis yang luas menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien. Hal ini dapat dicegah dengan mempertahankan integritas kulit, pengosongan kandung kemih secara seksama dan teratur dan pencegahan inkontinensia urin dan feses. Resiko infeksi paru-paru dapat diturunkan dengan menghindari kontak, latihan nafas dalam dan batuk efektif, pemberian vaksin pencegah influenza setiap tahun dan berhenti merokok. Diit tinggi protein penting dalam mempertahankan sistem imun yang adekuat. Terapi antibiotik dan hidrasi yang adekuat merupakan tindakan yangs segera dimulai dan pengobatan lokal diberikan ketika infeksi ditemukan.

Disusun : berdasarkan hasil diskusi Mahasiswa S2
Prog Pengkhususan KMB Universitas Indonesia